Syarat 20% RTH Sulit Terwujud, Pemda Disarankan Bangun Ruang Hijau di Area Bangunan
Oleh: Redaksi
Jurnalbandung.com – Syarat 20% ruang terbuka hijau (RTH) sebagai amanat undang-undang (UU) dinilai sulit terwujud. Pasalnya, aset di setiap daerah jumlahnya terbatas.
Seperti diketahui, implementasi UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang mengharuskan penyediaan RTH minimal 20% dari luas wilayah.
Kepala Seksi Wilayah 1 Direktorat Bina Penataan Bangunan Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera) Andhika Budi Prasetya mengatakan, pendefinisian 20% RTH tersebut membutuhkan pengkajian ulang.
Pasalnya, bila definisi RTH tersebut diharuskan berasal dari aset yang dimiliki masing-masing pemerintah daerah, hal itu tentu akan sulit terwujud. Mengingat, kebanyakan aset yang dimiliki pemerintah daerah dalam bentuk perkantoran.
“Saya lihat penyediaan RTH di masing-masing daerah masih belum maksimal. Pendefinisiannya agak sulit, aset pemerintah daerah kan kebanyakan dalam perkantoran,” ujar Andhika seusai Seminar dan Pameran Penataan Ruang Terbuka Publik bertajuk “Penerapan Identitas Lokal Dalam Ruang Terbuka Publik” di Graha Wiksa Praniti Gedung Puslitbangkim, Jalan Turangga Nomor 5-7 Kota Bandung, Kamis (8/12).
Meski demikian, pihaknya tak menampik bila minimnya keberadaan RTH itu juga disebabkan karena lemahnya penegakan hukum di masing-masing pemerintahan daerah.
Adapun saat disinggung solusi penambahan RTH, dirinya mengatakan, hal tersebut bisa dilakukan dengan memanfaatkan keberadaan lahan atau bangunan komersil yang ada.
“Definisi ruang hijau harusnya bisa diperluas untuk mengatasi aset atau lahan yang dimiliki pemerintah daerak. Misalnya dengan menyediakan RTH di bangunan, area plaza, parkir, dan sebagainya,” tuturnya.
Untuk meningkatkan keberadaan RTH, pihaknya juga menilai perlunya keterlibatan masyarakat atau komunitas. Sehingga keberadaan ruang hijau tersebut akan terus lestari.
Pendapat senada disampaikan Kepala Dinas Pemukiman dan Perumahan (Diskimrum) Provinsi Jawa Barat Bambang Rianto. Menurutnya, ketidakdisiplinan penataan ruang tak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah saja, namun juga dari kalangan masyarakat. Sehingga, menimbulkan pembangunan yang tak ramah lingkungan.
“Lahan konservasi untuk bencana tidak tersiapkan karena RTH minim, sehingga menimbulkan banjir yang banyak terjadi. Misal dengan kondisi d KBU (Kawasan Bandung Utara) saat ini,” papar Bambang.
Begitu juga saat disinggung tentang penyediaan RTH di masing-masing kota/kabupaten sesuai amanat UU Nomor 26/2007. Menurutnya, kondisi penyediaan RTH di masing-masing daerah masih minim.
Meski begitu, pihaknya menyebutkan, tidak ada kata terlambat untuk membuka dan memanfaat ruang publik yang ada.
“Untuk di Kota Bandung sudah cukup baik, keberadaan taman ada dimana-mana. Ke depannya, kami harap tak hanya resapan air dan biopori, namun fasilitas sumur imbuhan juga bisa disediakan karena mampu menampung debit air yang lebih banyak,” jelasnya.
Disinggung soal identitas lokal dalam ruang publik, Bambang mengaku hal tersebut harus menjadi sebuah keharusan. Sebab, hal tersebut merupakan implementasi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dimana keberadaan ruang publik yang ada mampu menyediakan ruang edukasi dalam aspek kesejarahan, sosial, dan budaya.
“Di Kota Bandung, taman-taman tematik tentu mengangkat karakter lokal. Itu identitas yang dibangun wali kota untuk Kota Bandung. Begitu juga di Gasibu, ruang tersebut selain menyediakan fasilitas olahraga, juga memberikan ruang edukasi dalam kesejarahan,” tandasnya.