Musim Hujan, Omset Produsen Opak dan Rangginang di Rancaekek Turun
Oleh: Dadan Burhan AA

Jurnal Bandung – Para produsen opak dan rangginang di kawasan Rancaekek, Kabupatan Bandung mengalami penurunan omset, menyusul hujan yang terus mengguyur kawasan tersebut.
Hal itu diakui Engking, 54, warga Kampung Bojong Peundeuy, Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek. Engking yang telah lama memproduksi opak dan rangginang itu mengatakan, hujan yang terus mengguyur mengakibatkan banjir di kawasan Rancaekek.
Akibatnya, konsumen yang hendak membeli opak dan rangginang pun kerap terhalang banjir. Otomatis, omsetnya pun kini menurun dari biasanya.
“Saya mengalami penurunan omset sekitar 30%-an karena banjir karena untuk akses, konsumen jadi terhalang. Soalnya kan kebanyakan yang di sini enggak punya jongko (kios) cuma produsen aja,” ujar Engking kepada Jurnalbandung.com, baru-baru ini.
Selain akses jalan yang terganggu banjir, hujan yang terus turun juga membuat dirinya kesulitan menjemur opak dan rangginang. Maklum, panganan kering yang sering dijadikan buah tangan ini sangat mengandalkan sinar matahari dalam pengeringannya.
Jika terus-terusan hujan, lanjut Engking, dia pun terpaksa memanaskan opak dan rangginang menggunakan kompor. Sebab, tanpa dipanaskan, opak dan rangginang tidak akan kering dengan sendirinya.
“Saya setiap harinya bikin bahan (opak) 10 liter beras ketan, itu bisa jadi 8 kilogram opak. Kalau enggak dipanaskan pakai kompor, saya enggak bisa produksi,” jelasnya.
Engking mengaku, dalam sehari, dirinya bisa memproduksi hingga 7 kaleng opak dimana setiap kalengnya berisi 175 opak siap makan.
“Satu kaleng opak harganya Rp100.000. Namun, jika turun hujan, saya hanya berani membuat opak 4 hingga 5 kaleng per hari. Enggak berani banyak-banyak karena takut konsumen enggak datang. Sayang kalau sampai opak menumpuk,” tuturnya.
Senada dengan Engking, Nenah , 51, perajin opak dan rangginang lainnya mengungkapkan, akibat banjir, konsumen yang datang ke rumahnya yang merangkap tempat produksi opak dan rangginang juga berkurang.
“Ya gimana lagi, mereka (konsumen) enggak mau datang ke rumah kalau lagi banjir. Solusinya, kita yang mengantarkan ke konsumen biar ga rugi,” ungkapnya.
Nenah menuturkan, di saat musim hujan, sejumlah produsen di Desa Linggar banyak yang menghentikan produksinya. Pasalnya, sebelum digoreng, opak maupun rangginang harus dijemur terlebih dahulu.
Bahkan, kata Nenah, penjemuran opak dan rangginang harus dilakukan selama dua hari berturut-turut. Jika tidak, kualitas opak dan rangginang akan jelek. Bahkan, jika dimasak tidak dapat mengembang dan kurang renyah saat dimakan.
“Ya dari pada rugi, mereka pada berhenti dulu bikin rangginangnya. Harus dua hari berturut-turut untuk jemurnya, dari pagi sampai sore,” terang Nenah.
Sejumlah produsen opak dan rangginang di kawasan Rancaekek berharap, pemerintah segera menyelesaikan persoalan banjir yang sering merendam Desa Linggar.
Jika tidak, setiap tahunnya, produksi opak dan rangginang yang juga sudah menjadi ikon Kabupaten Bandung ini dikhawatirkan akan terus turun.
Berdasarkan pengakuan para produsen opak dan rangginang, biasanya, omset mereka naik menjelang Hari Raya Idul Fitri.