Lampaui Target, Realisasi Investasi di Jawa Barat Tembus Rp103 Triliun

Oleh: Redaksi

Foto net

Jurnal Bandung – Selama 2015, realisasi investasi di Jawa Barat mencapai lebih dari Rp103 triliun atau melampau target yang dipatok hanya Rp95 triliun. Jabar pun dinilai masih menjadi incaran investor menanamkan investasinya.

Hal itu terungkap dalam dialog nasional yang digelar oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama salah satu surat kabar nasional bertema “Meningkatkan Peran Sektor Keuangan Dalam Percepatan Pembangunan Ekonomi Daerah” di Singosari Poolside Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng Jakarta, Senin (29/2.

Dalam materi presentasinya “Review Perekonomian Indonesia”, Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto mengungkapkan, realisasi investasi langsung di Jabar selama 2015 mencapai Rp103,1 triliun, melebihi target investasi 2015 sebesar Rp95 triliun.

“Jawa Timur menjadi provinsi dengan nilai investasi dari dalam negeri terbesar sepanjang 2015, dengan nilai investasi sebesar Rp35,5 triliun. Disusul Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah. Untuk investasi asing (PMA), provinsi dengan porsi terbesar adalah Jawa Barat dengan Rp76,8 triliun,” sebut Ryan dalam dialog yang juga dihadiri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, yang juga menjadi salah satu narasumber.

Berdasarkan data BKPM tahun 2016, Jabar mendapat total nilai investasi sebesar Rp103,1 triliun lebih dengan rincian investasi asing (FDI) yang masuk sebesar Rp76,8 triliun lebih dan investasi yang berasal dari dalam negeri (DDI) sebesar Rp26,2 triliun lebih.

Sementara Jawa Timur menempati urutan kedua dengan total nilai investasi sebesar Rp70,2 triliun dengan FDI sebesar Rp34,7 triliun lebih dan DDI sebesar Rp 35,4 triliun lebih. Dan posisi ketiga ditempati DKI Jakarta dengan total nilai investasi Rp63,9 triliun dengan FDI sebesar Rp48,4 triliun lebih dan DDI sebesar Rp15,5 triliun lebih.

Ditemui seusai dialog, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengharapkan, kegiatan ekonomi nasional, khususnya di Jabar terus meningkat, termasuk aliran investasi baik dari dalam maupun luar negeri pun terus mengalir.

Menurutnya, hal tersebut harus didukung oleh rendahnya suku bunga acuan dari Bank Indonesia (BI Rate). Seperti diketahui bahwa BI Rate saat ini (per 18 Februari 2016) berada di level 7.00%.

“Dampak dari suku bunga yang masih tinggi itu adalah investasi menjadi tidak bergairah. Kalau tidak bergairah tentu produksi juga menjadi rendah dan yang dikonsumsi masyarakat jadi lebih sedikit. Ditambah suku bunga juga, khawatir sedikit banyak berpengaruh pada kemampuan konsumsi. Kita bayangkan kalau kemampuan konsumsi rendah kemudian pada saat yang bersamaan juga investasi rendah dan tidak bergairah, pertumbuhan (ekonomi) juga menjadi rendah,” paparnya.

Selain berdampak pada pertumbuhan ekonomi, menurut Gubernur yang akrab disapa Aher ini, suku bunga tinggi juga akan berpengaruh pada nasionalisme masyarakat terhadap dunia perbankan nasional.

“Dan bahaya juga secara nasionalisme ya, karena kalau suku bunga itu tinggi jangan-jangan bank asing laku di Indonesia. Bank sendiri kemudian diabaikan oleh masyarakat kita sendiri,” katanya.

Untuk itu, Heryawan meminta Bank Indonesia serta pihak terkait lainnya mengkaji penyebab dari BI Rate yang masih tinggi tersebut. Sebab, kata Heryawan, jika dibandingkan dengan negara Asean lainnya, BI Rate memiliki nilai paling tinggi.

Tinggalkan Balasan