Krisis Kesehatan Mental Generasi Z di Indonesia

Oleh: Gisella Berliana M

Jurnalbandung.com – Generasi Z atau yang biasa disebut dengan Gen Z merupakan sekelompok orang yang lahir di tahun 1997 sampai dengan 2012. Rentang usia mereka ditahun 2022 ini kurang lebih antara 10 hingga 25 tahun. Selama ini mereka dikenal sebagai generasi yang dibesarkan oleh internet serta teknologi, namun tau kah kamu kalau sebagian besar generasi z atau remaja di Indonesia mengalami krisis kesehatan mental?

Menurut laporan WHO, hampir setengah dari masalah kesehatan mental dimulai sebelum usia 14 tahun, dan sebagian besar tidak ditangani dengan baik, sehingga berlanjut hingga dewasa, dan beberapa menyebabkan kondisi yang lebih serius seperti psikosis, menyakiti diri sendiri, dan bunuh diri. Sampai saat ini, hanya ada sedikit survei nasional yang cukup representatif untuk mengukur kesehatan remaja, dan Indonesia belum memiliki survei nasional semacam itu.

The Indonesia-National Adolescent Mental Survey (I-NAMHS) adalah survei kesehatan mental remaja berskala nasional yang bertujuan untuk meningkatkan representasi atau kelengkapan data prevalensi gangguan jiwa di kalangan remaja. I-NAMHS yang bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada telah melakukan penelitian serta mengumpulkan data di sepanjang tahun 2021 dan menemukan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam satu tahun terakhir.

Dengan perhitungan diatas berarti terdapat 15,5 juta remaja mengalami masalah kesehatan mental dan 2,45 juta remaja mengalami gangguan mental. Masalah Kesehatan mental ini ditemukan setelah melakukan wawancara kepada 5.664 remaja dengan rentang usia mulai dari 10 hingga 17 tahun. Angka statistik mengenai masalah mental diatas sudah sesuai dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edisi Kelima (DSM-5) keluaran American Psychological Association (APA) yang merupakan pedoman penegakan diagnosis gangguan jiwa yang digunakan dalam skala internasional.

Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM yang merupakan peneliti utama I-NAMHS memaparkan data analitik yang dimana gangguan mental terbanyak yang terjadi pada remaja adalah gangguan cemas dengan angka statistik sebesar (3,7%), lalu gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan PTSD dan ADHD masing-masing sebesar (0,5%).

Walaupun pemerintah telah meningkatkan akses ke berbagai fasilitas kesehatan terkait pemeriksaan mental, tim peneliti menemukan bahwa masih sedikit remaja yang mencoba mencari bantuan kepada pihak professional terkait dengan permasalahan mental yang mereka miliki. Populasi remaja di Indonesia sendiri hampir menyentuh angka 20%, dan dari total remaja yang mengalami masalah serta gangguan mental hanya sebanyak 2,6% dari mereka yang menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling dalam 12 bulan terakhir. Angka tersebut jauh dari total remaja yang sebenarnya membutuhkan bantuan akan urusan mentalnya.

Krisis kesehatan mental remaja Indonesia mulai terlihat naik secara signifikan ketika adanya kebijakan-kebijakan pembatasan kontak sosial dikarenakan pandemi COVID-19 kemarin. Aktivitas-aktivitas seperti kegiatan belajar mengajar tatap muka, kegiatan sosial, peribadatan, dan fasilitas umum, makan atau nongkrong di kafe yang dibatasi, membuat sebanyak 1 dari 20 remaja mempunyai masalah mental seperti depresi, cemas berlebihan, kesepian, dan sulit untuk berkonsentrasi. Berbanding terbalik dengan saat sebelum adanya pandemi COVID-19.

I-NAMHS mengeluarkan beberapa data lain yang ditemukan yaitu adalah mayoritas dari orang tua remaja sebanyak 38,2% menentukan untuk memilih layanan kesehatan mental dari sekolah atau yang biasa disebut dengan Bimbingan Konseling (BK) untuk remaja mereka. Di lain sisi, dari seluruh orang tua yang berpendapat bahwa remaja nya membutuhkan bantuan professional, ada sebanyak 43.8% yang berpendapat bahwa mereka tidak mencari bantuan kepada professional karena merasa mampu untuk menangani permasalahan mental remajanya hanya dengan dukungan dari keluarga dan juga teman-teman dekat.

I-NAMHS berfokus untuk menghitung beban penyakit atau prevalensi dari enam populasi gangguan mental yang paling umum di antara remaja, yaitu fobia sosial, gangguan cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, post-traumatic stress disorder (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD). I-NAMHS juga menemukan faktor yang berbahaya serta pelindung yang berhubungan dengan gangguan mental remaja seperti bullying, sekolah dan pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat terlarang, pengalaman masa kecil yang traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan.

Seperti yang disebutkan, I-NAMHS adalah bagian National Adolescent Mental Health Survey (NAMHS) cabang Indonesia. Selain di Indonesia NAMHS juga diselenggarakan di Kenya (K-NAMHS) dan juga Vietnam (V-NAMHS). Di Indonesia, penelitian ini dilakukan tidak hanya dengan Universitas Gadjah Mada, namun juga dengan University of Queensland di Australia (organisasi utama NAMHS), Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat, dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Universitas Sumatera Utara dan Universitas Hasanuddin.

Siswanto berpendapat bahwa adanya data prevelansi untuk skala nasional seperti I-NAMHS sangatlah krusial. “Selama ini, data yang kita punya tidak merepresentasikan Indonesia atau tidak berdasarkan diagnosis sehingga perencanaan program dan advokasi mengenai kesehatan mental remaja menjadi tidak tepat sasaran. Harapannya I-NAMHS bisa membantu pemerintah dan pihak lain yang terkait dengan kesehatan mental remaja dalam mendesain program dan advokasi yang lebih baik bagi remaja kita,” ujar siswanto.

Salah penanganan dari orang tua merupakan salah satu hal yang membuat kesehatan mental remaja di Indonesia kian memburuk. Oleh karena itu, orang tua dan anggota keluarga lainnya juga harus saling mendidik serta terdidik tentang kesehatan mental sehingga dapat membantu remaja dalam mengelola kesehatan mentalnya. Selain orang tua, tenaga kependidikan juga bisa menjadi alternatif utama untuk memastikan semua remaja yang membutuhkan dukungan kesehatan mental bisa mendapatkan bantuan dan rujukan yang layak.

Tinggalkan Balasan