Berpenduduk Muslim Terbesar di Indonesia, Potensi Zakat di Jabar Baru Tergarap 10%
Oleh: Redaksi
Jurnalbandung.com – Penerapan Peraturan Daerah (Perda) Zakat di Jawa Barat terus diwacanakan sebagai sebuah gerakan bahwa Provinsi Jabar taat pajak.
Apalagi, sebagai provinsi dengan penduduk muslim terbesar di Indonesia, potensi zakat di Jabar selama ini ditengarai mencapai lebih dari Rp1 triliun/tahun.
Sayangnya, seperti dikatakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar Rachmat Syafei, saat ini, kesadaran membayar zakat masih rendah. Berdasarkan data yang dikantongi MUI, kesadaran berzakat di Jabar hanya sekitar 10% atau masih sangat rendah untuk provinsi terbesar di Tanah Air.
“Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat berzakat dibutuhkan perda yang khusus memayungi aturan mengenai lembaga yang khusus menangani zakat, hingga soal penyalurannya,” ungkap Rachmat Safei dalam seminar Urgensi Perda Zakat untuk Menjadikan Jabar sebagai Provinsi Taat Zakat, di Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (23/11).
Perda zakat ini pun dinilai mendesak guna memperkuat keberadaan Undang-Undang (UU) Zakat, sehingga nanti petugas zakat di bawah Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) akan lebih kuat dan mudah dalam mengembangkannya.
Jadi, kata dia, perda ini akan lebih mengatur sekaligus memberikan kenyamanan bagi para
muzaki karenda sudah dilindungi UU dan regulasi kedaerahan.
Ketua Baznas Jabar Arif Ramdani mengatakan, zakat merupakan instrumen penting dalam memudarkan kesenjangan sosial. Menurutnya, kesenjangan harus dikendalikan agar tidak terlalu ekstrem dan menimbulkan ekses-ekses sosial.
Oleh karenanya, dengan besarnya potensi zakat di Jabar, Arif menilai perlu adanya aturan yang lebih komprehensif guna mengoptimalkan zakat dari penghimpunan hingga pengelolaannya.
“Jadi, seminar ini bukan berarti keharusan Baznas membuat perda zakat di Jawa Barat, tapi ini forum mengeksplorasi selangkah provinsi membuat perda. Kalau perlu ditindaklanjuti akademis apa yang perlu diatur, kemudian supaya tidak bertentangan dengan aturan lainnya,” jelasnya.
Menurut dia, rancangan perda zakat perlu dikaji supaya tidak bertentangan aturan yang ada di atasnya. Dia pun sepakat dengan pemaparan panelis lainnya pada acara tersebut, yakni pakar hukum tata negara Univesitas Padjadjaran Ina Zunaena yang menyebutkan jika peraturan itu dapat berbentuk peraturan gubernur atau perbup/perwal.
“Ada alternatif yang belum ada, maka perda bisa dibuat bentuk pergub atau perbub atau perwal jika di kota dan kabupaten. Ini membuat kita sebagai pengelola zakat wajib menguasai UU dan peraturan yang ada tentang zakat, sebagai landasan sosialisasi masyarakat wajib zakat,” terangnya.
Ina menjelaskan, sumber kewenangan aturan tentang zakat berada di pemerintah pusat dan bersifat absolut. Karenanya, saat pemerintah pusat membagi urusan ini dengan daerah, harus ada aturan yang jelas dan dituangkan dalam aturan yang jelas pula.
“Kalau mau berbagi tugas, harus diijabkabulkan dan dituangkan dimana kewenangan pusat kepada daerah. Apakah kewenangan pusat kepada daerah secara utuh dalam unsur pemerintah atau hanya kepada kepala daerah saja,” katanya.
Menurut dia, kewenangan sekarang masih ke kepala daerah dan itu pun masih terbatas, yakni baru pengawasan pembinaan semata.
“Saran saya, untuk urgensi perda zakat ini, ini dipetakan untuk kebutuhan apa, pilihan bentuk hukumnya seperti apa, untuk menjawab kebutuhan apa, dan kajian Baznas dan pemerintah dari sisi mana,” pungkasnya.