Berantas Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pemprov Jabar Gandeng KPPU

Oleh: Yuga Khalifatusalam

kppu
Jurnal Bandung – Guna mencegah persaingan tidak sehat, pemerintah provinsi Jawa Barat memperpanjang kerja sama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Menurut Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dengan adanya nota kesepahaman antara Pemprov Jabar dengan KPPU, diharapkan persaingan usaha di Jawa Barat menjadi sehat. Pasalnya, KPPU mempunyai kewenangan untuk mengawasi transaksi bisnis.

“Mereka (KPPU) bisa masuk leluasa kalau ada MoU (memorandum of understanding). Selain itu, dilakukan sosialisasi kepada semua pihak khususnya pemerintah agar mencegah terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,” katanya kepada wartawan saat ditemui di Gedung Sate Bandung, Senin (13/10).

Pria yang akrab disapa Aher itu mengaku, di Jabar, tidak menutup kemungkinan ada persaingan yang tidak sehat. Namun, ditanya seberapa banyak dan dimana saja, Aher mengaku tidak terlalu mengetahui.

“Tentu ada beberapa pengawasan ke beberapa proyek, ke beberapa transaksi bisnis. Tapi sejauh mana pengawasannya, pelanggaran usaha tidak sehat, lebih baik (tanya) ke KPPU,” ucapnya.

Sementara itu Ketua KPPU M. Nawir Messi mengatakan, melalui kerja sama ini, pihaknya berharap iklim usaha di Indonesia bisa terus berkembang secara kondusif. Pengawasan intensif ini pun dilakukan sebagai upaya dalam memperbaiki kebijakan yang diterapkan pemerintah terkait aktivitas usaha.

“Bukan karena telah terjadi dan akan terjadi persaingan tidak sehat. Tapi kita ingin terus menerus membina hubungan dalam memperbaiki kebijakan sehingga bisnis itu bisa berkembang secara kondusif,” papar Nawir di tempat yang sama.

Dirinya menjelaskan, KPPU akan menyiapkan alat tes instrumen untuk menguji semua kebijakan pemerintah terkait aktifitas usaha. Alat tes kebijakan ini akan mengidentifikasi apakah ada kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah yang berdampak terhadap kondusifitas persaingan tidak sehat.

“Kita sebut sebagai ‘competition checklist’, mengecek secara dini. Nanti kita bertanya ke pengambil kebijakan (gubernur, pemda, lembaga/kementerian),” tutur Nawir.

Nantinya, lanjut Nawir, jawaban tersebut akan diolah oleh sistem yang dibangun secara komputerisasi sehingga bisa diketahui apakah kebijakan pemerintah tersebut memiliki dampak atau tidak terhadap persaingan usaha tidak sehat. “Misalnya apakah kebijakan ini akan mengurangi suplier, meningkatkan biaya, mengurangi akses orang lain, dan seterusnya. Nanti diketahui apakah ada dampaknya ke pasar atau tidak,” jelasnya.

Dengan begitu, KPPU diharapkan memiliki informasi sejak dini terkait potensi persaingan tidak sehat agar bisa segera berkoordinasi dengan pemerintah untuk menjaga kondusifitas usaha. Selama ini, Nawir mengakui, pihaknya belum maksimal dalam mengawasi kebijakan pemerintah terkait usaha. Sebab, kebijakan tersebut lahir tanpa dilakukan pendeteksian sejak awal. “Entah itu UU, perpres, kita baru tahu. Karena enggak punya instrumen untuk mendeteksi sejak dini,” katanya.

Kendati begitu, Nawir mengakui, proses pengawalan tersebut tidak mungkin selesai dalam waktu singkat. Menurutnya, hal ini merupakan program jangka menengah yang memerlukan waktu tidak singkat.

“Setidaknya untuk mengarusutamakan kebijakan persaingan. Kalau ini sudah jadi arus utama, enggak perlu kita ingatkan, mereka akan aware dengan sendirinya. Nantinya, jika ada kebijakan, pasal, yang bisa merusak persaingan, mereka melakukan proses perbaikan sendiri. Itu harapannya,” papar Nawir.

Disinggung perihal tindakan tegas terhadap pelaku persaingan usaha tidak sehat, menurutnya, secara nasional terdapat 40 korporasi yang masuk pengadilan. Selain itu, terdapat 60 perusahaan yang sedang dilakukan penyelidikan.

“Tahun ini kita optimus bekerja,” ujar Nawir seraya menyebut sejumlah sektor menjadi sasaran prioritas pengawasan seperti pangan, energi, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Lebih lanjut Nawir mengatakan, bersama enam provinsi lainnya, Jabar menjadi percontohan dalam pengawasan persaingan usaha.

Sebab, Jabar bersama DKI Jakarta, Jatim, Sulsel, Sumut, Kaltim, dan Kepulauan Riau menjadi penopang ekonomi nasional sehingga iklim usahanya sangat berpengaruh terhadap kondisi nasional. “Tujuh provinsi ini mewakili 80 persen PDB nasional. Sedikit guncangan di salah satu provinsi ini, akan mengguncang Indonesia. Begitu pun kalau terjadi perubahan positif, secara nasional akan luar biasa. Makanya kita ingin dorong terus agar tujuh provinsi ini berkembang secara kondusif,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan