UU Migas Dinilai Tidak Berpihak pada Negara
Oleh: Bayu Wicaksana

Jurnal Bandung – Keberpihakan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor minyak dan gas (migas) mutlak diperlukan untuk menjaga kedaulatan energi nasional. Hal ini penting diperhatikan dalam merevisi Undang-Undang (UU) Migas.
Direktur Umum Perusahaan Gas Negara Hendri Kusnadi mengatakan, terdapat butir penting mengenai rencana revisi UU Migas ini.
Menurutnya, penguasaan negara atas sektor migas ini sangat penting untuk mendorong terciptanya pembangunan yang menyejahterakan masyarakat.
“Dalam hal konsep penguasaan negara. Harus mengembalikan peran dominan BUMN,” kata Hendri seusai menghadiri kunjungan kerja Komisi VII DPR ke Jawa Barat, di Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (26/11).
Pertemuan yang menitikberatkan pada pembahasan revisi UU Migas ini dihadiri juga Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar, perwakilan Pertamina, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta akademisi ITB.
Menurut Hendri, UU Migas saat ini tidak menunjukkan keberpihakan kepada negara. Hal ini tercermin dari tidak adanya prioritas bagi BUMN untuk mengelola migas.
“UU Migas saat ini tidak memberi prioritas ke BUMN. BUMN disamakan dengan swasta. Padahal BUMN ini sebagai agen pembangunan,” katanya seraya menyebut hal ini pun berlaku dalam pengalokasian gas bumi.
Sebagai contoh, kata dia, BUMN harus mengikuti lelang untuk mendapat pengalokasian.
“Kami disamakan dengan swasta,” katanya.
Selain keberpihakan pada BUMN, UU Migas pun harus direvisi untuk memisahkan pengaturan usaha hulu dan hilir. Saat ini, kata dia, pengaturan usaha hulu dan hilir masih disatukan. Padahal, pemisahan ini menurutnya penting untuk mensinergiskan usaha hulu dan hilir.
“Kalau kita lihat praktik di luar (negeri), sudah terpisah,” tambahnya.
Dia mencontohkan, potensi gas di Jawa Timur terbilang banyak. Namun, pemanfaatan di sektor hilirnya belum tertata baik sehingga tidak teroptimalisasi.
“Atau di Sumatera Utara, pasar siap tapi gas tidak ada. Artinya, antara pengembangan infrastrutur dengan komoditas tidak sinkron,” sebutnya.
Tidak hanya itu, dia pun meminta agar rencana revisi UU Migas ini mampu menjamin pelaku usaha dalam menjalankan aktivitasnya.
“Lelang infrastruktur, tapi tidak dipikirkan pasokan gasnya. Badan usaha mana yang mau bangun infrastruktur jika tidak ada pasokan gasnya. Contohnya di semarang. Sudah ditetapkan, tapi karena tidak sinkron, banyak yang tidak terbangun,” terangnya.
Lebih lanjut dia berharap, UU Migas nantinya harus menegaskan keberpihakannya kepada masyarakat.
“Selain membangun untuk industri, juga harus membangun untuk rumah tangga dan UKM. Sehingga badan usaha bukan hanya mencari keuntungan semata, tapi berpihak ke rakyat. Industri bisa hidup, masyarakat juga bisa hidup,” pungkasnya.
Ketua Tim RUU Migas Pertamina Syahrial Muchtar mengatakan, UU Migas saat ini kurang memperhatikan sektor hilir. Padahal, sesuai Pasal 33 UUD 1945, semua kekayaan alam harus dikuasi negara.
“Prinsip integrasi hulu hilir jauh lebih penting. Apalagi dalam kebijakan energi nasional, migas ini tidak sekedar komoditi, tapi penggerak ekonomi kemakmuran,” bebernya.