Ujung Berung, Lokasi Alternatif Terbaik di Tengah Mahalnya Harga Tanah dan Property di Kota Bandung
Oleh: Ridwan Farid

Jurnal Bandung – Mahalnya harga tanah dan property di Kota Bandung membuat warga Kota Bandung harus memutar otak untuk memiliki tempat tinggal di kotanya sendiri.
Bahkan, di lokasi paling strategis yakni kawasan Dago dan sekitarnya, harga tanah kini bisa mencapai Rp40 juta per meter persegi bahkan bisa lebih, sebuah nilai yang fantastis.
Dalam obrolan santai dengan Jurnal Bandung, salah seorang praktisi pertanahan Mahpudi mengakui, harga tanah di Kota Bandung bisa dikatakan sudah di luar nalar dan logika.
Meskipun begitu, dia pun tak memungkiri tanah dan property di Kota Bandung tetap diincar banyak orang. Hal itu pulalah yang membuat harga tanah dan property di Kota Bandung cenderung terus naik.
Fenomena di luar nalar dan logika terkait harga tanah dan property di Kota Bandung, kata Mahpudi, sebenarnya baru berlangsung lima tahun terakhir seiring gencarnya pembangunan di Kota Bandung.
Terlebih, di bawah kepemimpinan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dimana pembangunan insfrastruktur terus digenjot, harga tanah dan property pun terus terdongrak naik.
Tidak hanya di kawasan Dago dan sekitarnya, di wilayah lain seperti Dago Atas, Setiabudhi, bahkan hingga wilayah perbatasan Lembang pun kini harganya sudah termasuk tinggi.
Dia menyebutkan, di Dago Atas, Setiabudhi, hingga perbatasan Lembang, harga tanah di kawasan tersebut sudah mencapai Rp8 juta-Rp12 juta per meter persegi.
Namun, bagi anda yang tetap menginginkan memiliki rumah di Kota Bandung tak perlu berputus asa. Menurut Mahpudi, ada lokasi alternatif terbaik di tengah mahalnya harga tanah dan property di Kota Bandung.
“Ujung Berung, ya itulah lokasi yang paling tepat. Selain harga tanahnya yang bisa dikatakan masih terjangkau, Ujung Berung paling cocok sebagai lokasi hunian karena relatif masih asri,” ungkap Mahpudi kepada Jurnal Bandung, Senin (9/3).
Menurut Mahpudi, untuk memilih hunian yang cocok, hal pertama yang harus diperhatikan adalah lingkungan sekitar dan ketersediaan air bersih. Karena tanpa keduanya, sulit kiranya betah tinggal di rumah.
“Di Ujung Berung, potensi airnya masih cukup besar dan tak perlu pemrosesan. Beda halnya dengan wilayah Cisaranten atau Gedebage sekalipun karena airnya harus di-filter sebelum dikonsumsi,” jelasnya.
Saat disinggung lokasi di wilayah Selatan Kota Bandung yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung seperti Kopo, Cibaduyut, dan sekitarnya, Mahpudi menilai, meskipun banyak orang yang memilih tinggal dan membeli rumah di kawasan tersebut, namun jika dibandingkan, wilayah Ujung Berung, kawasan timur Kota Bandung itu dinilainya tetap lebih baik.
“Di situ (kawasan perbatasan Kabupaten Bandung) sudah bercampur dengan industri, terlalu banyak industri, lingkungannya dan udaranya pun kurang asri,” katanya.
Meskipun terkesan menilai lebih kawasan Ujung Berung, namun Mahpudi pun mengakui jika kendala terbesar yang dihadapi warga yang tinggal di kawasan Ujung Berung adalah kemacetan lalu lintas, terlebih di saat jam-jam sibuk.
“Memang betul, itu kendala terbesarnya. Tapi, kemacetan itu saya kira sulit ditangani karena kemacetan dampak dari pembangunan. Di lokasi lain pun di Kota Bandung saya kira macet tak bisa dihindari. Kemacetan juga terjadi karena warga Ujung Berung kini berlipat jumlahnya seiring banyaknya perumahan besar di Ujung Berung,” paparnya.
Meskipun lokasi lain di Kota Bandung dinilainya tidak lebih baik dari Ujung Berung, namun Mahpudi tetap menyerahkan pilihan kepada calon penghuni dan pemilik rumah.
Terlebih, kata dia, jika cita-cita memiliki rumah di Kota Bandung tersebut dihubungkan dengan kondisi finansial.