Peringatan KAA Momentum Tepat Lawan Privatisasi Air
Oleh: JB-02
Jurnal Bandung – Peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika (KAA) dinilai sebagai momentum tepat untuk menyuarakan perjuangan melawan privatisasi air oleh sejumlah pihak, termasuk di dalamnya perusahaan raksaksa dunia.
Momentum tersebut selaras dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
Pembatalan tersebut dinilai sebagai kemenangan Bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan dan penguasaan air di bumi nusantara.
Peristiwa ini pun dianggap tepat menjadi inspirasi bangsa-bangsa di benua Asia dan Afrika dalam melawan penjajahan air di negaranya masing-masing. Sehingga, hal ini dinilai patut disebarluaskan ke seluruh dunia.
Staf Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat Dwi Sawung mengungkapkan, pembatalan Undang-Undang Nomor 7/2004 oleh MK menjadi pijakan untuk memastikan air sebagai hak asasi kebutuhan dasar manusia.
Selain itu, untuk membangun dan menyusun tata kelola air yang lebih adil dan memihak kepada kepentingan publik sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
”Kami ingin agar air ini dapat diakses kembali oleh publik. Akses-akses masyarakat terhadap air sebagai HAM, terhadap air bersih kembali bisa diperoleh,” tegasnya kepada Jurnal Bandung seusai peringatan Hari Bumi bertemakan “Air untuk Publik, Membangun Solidaritas Bangsa Asia Afrika Melawan Privatisasi Air di Dunia”, di Babakan Siliwangi, Kota Bandung, Rabu (22/4).
Berdasarkan catatannya, di Indonesia diperkirakan 80 perusahaan korporasi transnasional seperti Danone, Cocacola, Iyonesse, dan Aetra kini telah menguasai sektor air.
Selain itu, ribuan perusahan dalam negeri pun mengusahakan air dari sumber-sumber mata air, air permukaan, dan air bawah tanah.
“Privatisasi air ini sudah terjadi di Jawa Barat seperti di Sukabumi, Subang, Lembang. Bahkan, yang sempat ramai soal privatisasi air di Babakan Pari, Sukabumi oleh perusahaan asal Perancis Danone. Ini tidak boleh terjadi lagi,” tegasnya.
Di Kota Bandung, Dwi menilai, pemerintahnya kini condong mengedepankan investasi. Sehingga, banyak izin-izin pembangunan yang dikeluarkan. Padahal, di suatu wilayah yang diizinkan dibangun, bisa saja terdapat sumber mata air bagi warga sekitar.
”Banyak perusahaan yang menyedot air tanah besar-besaran, sementara masyarakatnya sendiri tidak kebagian. Dibangun sarana komersil dan hotel yang tidak berizin. Diperkirakan 40% air tanah yang diambil tidak berizin,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dia mendesak pemerintah daerah agar serius mengelola sumber mata air ini. Terlebih, kini ada sumber-sumber mata air yang sudah hilang.
“Ada beberapa mata air yang tertutup sampah, kita bersihkan. Bahkan, di Bandung, ada yang sampai dijual. Ya intinya kita harus sama sama menjaga lah. Jangan sampai mata air ini hilang,” tandasnya.