Meski Longsor Mengintai, Warga Lampegan Sumedang Nekat Bertahan karena Tak punya Biaya

Oleh: Dadan Burhan AA

Foto Dadan Burhan Aa
Foto Dadan Burhan Aa

Jurnal Bandung – Pergerakan tanah menghantui dua keluarga di RT 09 RW 03 Kampung Lampegan, Dusun Babakan Kondang, Desa Banyuresmi, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang.

Pergerakan tanah di kampung tersebut menyebabkan rekahan tanah selebar 3,5 meter dengan panjang retakan mencapai 10 meter hingga 20 meter di berbagai titik.

Warga Kampung Lampegan Ajid, 60, mengaku, tak tenang karena khawatir pergerakan tanah semakin lebar dan menimbulkan longsor. Pasalnya, pergerakan tanah tersebut terjadi pada tanah di atas rumahnya dan rumah warga lainnya.

“Kadang saya sering bangun malam-malam mengecek, takutnya semakin parah. Pokoknya saya enggak tenang. Tapi mau gimana lagi, enggak ada biaya ya harus bertahan di sini,” ungkap Ajid kepada Jurnalbandung.com, Rabu (12/10).

Menurut Ajid yang juga Ketua RT 09 RW 03 Kampung Lampegan, dia dan keluarganya belum berencana pindah karena tidak memiliki modal untuk membangun rumah baru. Padahal, dia ingin sekali pindah.

“Rumah saya aja dari bilik gimana mau pindah, harus ada biaya pindahnya belum buat bangunan baru, tapi enggak punya biaya,”  ujarnya.

Sementara itu, Kaur Perencanaan Desa Banyuresmi, Witana, 35, mengatakan, sebelumnya, di kampung tersebut juga pernah terjadi pergerakan tanah pada 2015 dan awal 2016 lalu.

Pergerakan tanah tersebut mengakibatkan beberapa rumah warga rusak dimana dinding temboknya retak-retak. Bahkan, beberapa fasilitas umum, seperti musola juga ikut ambruk.

Sebenarnya, lanjut Witana, warga Kampung Lampegan sudah mengevakuasi diri dan meninggalkan kampung tersebut. Namun, saat ini, masih ada dua keluarga yang tetap bertahan di sana.

“Dulu juga pernah mengalami pergerakan tanah, ini baru lagi pergerakan tanahnya, baru sekitar seminggu yang lalu. Mirisnya, di sini masih ada dua KK yang belum pindah dari sebelumnya 11 KK,” sebutnya.

Menurut Witana, kedua KK tersebut masih bertahan lantaran tidak memiliki biaya untuk pindah dan membuat rumah baru. Pihak desa sendiri sudah merencanakan kepindahan mereka, namun terbentur masalah anggaran.

“Ya kami sudah merencanakan untuk kepindahan dua KK yang masih bertahan di sana. Hanya saja tinggal masalah pendanaannya saja yang belum ada,” terangnya.

Menurut dia, sesuai letak geografisnya, beberapa rumah warga di Desa Banyuresmi memang berada di lereng-lereng Gunung Manglayang. Kondisi tanah yang labil  terjadi di beberapa titik wilayah tersebut.

Sebagian besar warganya pun merupakan petani lahan kering dan lahan basah. Hal itu membuat tanah di Desa Banyuresmi semakin labil karena kurangnya pepohonan yang mampu menyerap air hujan.

“Memang kami programkan setiap tahun ada reboisasi, tapi warga di sini masih banyak yang awam tentang reboisasi itu. Namanya bertani seperti itu kan memang tidak membutuhkan pepohonan. Makanya petani menebang pohon-pohonnya,” katanya.

Selain pergerakan tanah, tambah dia, di Desa Banyuresmi juga sering terjadi longsoran kecil di areal persawahan.

Longsor tersebut terjadi jika musim penghujan tiba. Dia pun khawatir longsoran tersebut akan terus bertambah besar dan membahayakan keselamatan warga.

Tinggalkan Balasan