Krisis Iklim dan Ketimpangan Gender
Oleh : Reva Septia S
Mahasiswi Universitas Kebangsaan Republik Indonesia
Krisis iklim merujuk pada perubahan jangka panjang suhu dan pola cuaca yang biasanya disebabkan oleh kegiatan manusia terutama pembakaran bahan bakar fosil. Isu ini sudah menjadi ancaman nyata dan tidak sedikit diperbincangkan oleh warga global. Adanya krisis iklim di tengah masyarakat dan menurunnya kualitas bumi sebagai tempat tinggal kini semakin serius dan mengancam bagi keberlangsungan hidup manusia di masa depan nanti. Berdasarkan hasil laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Sixth Assessment mengatakan bahwa gas emisi yang diproduksi manusia telah meningkatkan temperature bumi sebanyak 1,1° C dan di decade selanjutnya diprediksi temperature akan naik 1,5° C perubahan iklim telah menyebabkan kerusakan besar dan kerugian yang semakin tidak dapat diubah di ekosistem darat, air tawar, pesisir, dan samudra terbuka. Luas dan besaran dampak perubahan iklim lebih besar dari yang diperkirakan dalam penilaian sebelumnya. Fungsi ekosistem, ketahanan dan kapasitas adaptif alami, serta pergeseran musim telah terjadi karena adanya perubahan iklim, dengan konsekuensi social ekonomi yang merugikan. (Thomson,2022)
Impak dari pemanasan bumi ini sudah banyak terlihat dimana-mana cuaca ekstrim jadi sering terjadi entah itu kekeringan, badai, ataupun kebakaran hutan. Seperti yang terjadi dari mulai awal tahun 2022 hingga menjelang akhir tahun 2022. Contohnya banjir yang terjadi di Pakistan pada bulan Agustus lalu telah menewaskan sebanyak 1.033 orang di seluruh Pakistan dan ada sekitar satu juta rumah hancur, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Pakistan (NDMA) mengatakan ada lebih dari dua juta hektar tanaman budidaya musnah. 3.451 kilometer (2.150 mil) jalanan hancur, dan 149 jembatan hayut. Sementara ribuan orang lainnya telah mengungsi dan sebagaian terkena dampak.
Sementara itu, ditempat lain terjadi kekeringan yang dipicu oleh gelombang panas yang melanda danau Poyang di China dimana secara geografis letaknya tidak jauh dengan Pakistan. Volume danau air tawar terbesar di negara China ini menyusut hingga 75%. Suhu di Distrik Beibei mencapai 45° C, ini merupakan suhu tertinggi dari yang pernah terjadi sebelumnya, bahkan sehari setelah itu ada 244 kota di China yang mengalami suhu hingga diatas 40° C dan lebih dari 400 kota merasakan suhu diatas 37° C. Disejumlah wilayah lainnya bahkan memecahkan rekor kekeringan yang terjadi secara tiba-tiba. Salah satu Kawasan yang memiliki dampak paling parah adalah wilayah Tanduk Afrika, tempat empat musim dimana hujan tidak turun lagi selama bertahun-tahun.
Kondisi ini menyebabkan keadaannya sebagaimana yang disebutkan oleh Nuur Mohamud Sheekh, juru bicara blik perdagangan regional (IGAD), sebagai “kekeringan terburuk dalam 40 tahun”. Beliau juga menyebutkan bahwa keadaan itu akan berdampak pada ketahanan pangan bagi sekitar 50 juta orang.
Isu ini sudah bukan isu sepele lagi, perubahan iklim telah menyebabkan 40% kematian terkait cuaca panas di seluruh dunia. Tiga belas juta orang di Ethiopia, Kenya, dan Somalia diperkirakan sudah mengungsi untuk mencari air di tiga bulan pertama pada awal tahun 2022. Jika terus dibiarkan setidaknya akan ada 92 juta orang yang akan mengungsi dari rumahnya karna cuaca ekstrim dan seperti yang kita tahu penyebab terbesar terjadinya perubahan iklim adalah bahan bakar fosil seperti gas, minyak, dan batu bara yang meyumbang lebih dari 75% emisi gas rumah kaca global.
Terkait dengan situasi saat ini nyatanya perempuan lebih rentan terkena dampak perubahan iklim dibandingkan pria. Karena, hampir setengah dari mayoristas masyarakat miskin dunia dan kehidupannya lebih bergantung pada sumber daya alam yang terancam oleh perubahan iklim. Selain itu, perempuan juga mengalami hambatan social, ekonomi, dan politik yang membatasi mereka untuk mengatasi hal ini. Contohnya perempuan di daerah pedesaaan di negara berkembang ketika terjadi kemarau panjang mereka biasanya mengumpulkan air, bahan bakar, mencari makan ternak, dan menyiapkan makan keluarganya. Sebuah penelitian oleh the London School of Economics and Political Sciene di 141 negara yang terkena bencana pada tahun 1981-2022, menemukan hubungan erat antara bencana alam dan status social ekonomi perempuan. Hal ini menunjukan bahwa perempuan adalah korban terbesar dalam bencana alam yang terjadi. Dan akibatnya adalah terjadinya peningkatan angka kemiskinan di kalangan perempuan, dan terbuka luas nya jurang ketidaksetaraan gender, karna perempuan harus menanggung beban dan tanggung jawab yang lebih berat dibandingkan dengan pria. Jika terus dibiarkan hal ini juga akan berakibat pada berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan dan pangan. Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat terlihat bahwa perempuan mempunyai beban tanggung jawab yang lebih besar daripada pria, khususnya dalam menanggung dampak terjadinya perubahan iklim. Selain itu, perempuan juga merupakan mayoritas penduduk yang memiliki sumber daya terbatas. Selain dalam perekonomian dapat dikatakan lebih miskin, perempuan juga memiliki pendidikan yang lebih rendah. Dengan kondisi seperti ini kapasitas untuk bertahan menghadapi dampak perubahan iklim juga semakin terbatas.