Dukung Kantong Plastik Berbayar, Antropolog Unpad Ini Minta Budaya Terdahulu Kembali Dihidupkan
Menurut Opan, penggunaan plastik di kehidupan saat ini merupakan pergeseran nilai dan budaya masyarakat asli Indonesia. Pasalnya, pada zaman dulu, tepatnya sebelum tahun 1990-an, masyarakat yang ingin berbelanja jarang menggunakan plastik.
Bahkan, kata Opan, berbagai bentuk makanan yang diperjualkan juga menggunakan pembungkus yang berasal dari bahan-bahan organik.
“Kita memang perlu merunut ke sistem nilai dan budaya masyarakat kita pada masa lalu. Contoh, peuyeum saja waktu itu dibungkus dengan menggunakan daun waru, nasi dengan daun pisnag atau jati, bahkan wajik pun dibungkus dengan daun jagung bukan plastik lagi,” ujar Opan saat ditemui Jurnalbandung.com di ruang kerjanya baru-baru ini.
Pergeseran nilai dan budaya masyarakat Indonesia yang lebih memanfaatkan plastik ketimbang bahan-bahan organik lainnya, lanjut Opan, juga disebabkan pesatnya pertumbuhan penduduk.
“Pertumbuhan penduduk di Indonesia itu tinggi, sekarang saja sudah mencapai urutan ke-4 terbanyak di dunia. Otomatis, plastik juga bertambah pesat penggunannya,” ujarnya.
Opan mengungkapkan, penggunaan plastik dalam skala besar sangat berdampak pada kerusakan lingkungan. Pasalnya, plastik akan sukar diurai meski sudah bepuluh-puluh tahun lamanya. Berbeda dengan bahan-bahan organik yang sangat mudah terurai.
Bahkan, menurut Opan, permasalahan plastik memang sudah menjadi isu yang cukup berat di tahun 1980-an. Pasalnya, plastik merupakan salah satu bahan yang dapat mencemari lingkungan, bahkan merusak kadar dan unsur hara dalam tanah.
“Dengan adanya pemberlakuan plastik berbayar ini saya snagat setuju. Salah satu efeknya adalah mengurangi limbah plastik itu sendiri. Plastik juga salah satu penyebab bencana banjir,” ungkapnya.
Opan juga mengatakan, penerapan kantong plastik berbayar, yang juga sudah berlaku di Kota Bandung, juga menjadi upaya nyata dalam mengurangi penggunaan plastik.
Sebab, jika pengurangan penggunaan plastik tidak dilakukan di bagian hulunya, maka limbah plastik akan selalu ada sepanjang kehidupan manusia masih berlanjut.
“Memang harus dimulai dari hal-hal yang kecil, upaya yang juga diterapka Pemkot Bandung sendiri ini salah satu contoh pencegahan dari hulu. Kalau hanya memungut sampah itu efeknya kurang,” jelasnya.
Menurut Opan, menghidupkan kembali budaya terdahulu, seperti membawa tempat belanja dari rumah saat akan berbelanja ke pasar atau minimarket juga dapat menjadi solusi agar masyarakat tidak bergantung kepada plastik.
“Jadi masyarakat juga bisa berhemat, sehingga tidak perlu harus mengeluarkan uang untuk membeli kantong plastik. Ini juga ada keterkaitan efek dan budaya masyarakat baru pada saat ini,” katanya.
Disinggung dampak negatif penerapan plastik berbayar, Opan mengakui, secara universal, kebijakan tersebut pasti menimbulkan dampak positif sekaligus negatifnya.
“Dampak positifnya, ya itu tadi mengurangi limbah plastik. Untuk negatifnya, saya rasa akan berdampak pada produsen plastik yang mempengaruhi pendapatan dan pengurangan karyawan karena merugi,” tuturnya.
Opan menyebutkan, jika para produsen plastik mampu berinovasi, maka kebijakan tersebut tidak akan berpengaruh tehadap produksi, salah satunya dengan berinovasi membuat kantong berbahan organik dan ramah lingkungan.
“Tapi pastinya ini perlu waktu dan proses karena tidak seperti membuat mie instan. Produsen dan masyarakat juga harus menyadari bahaya plastik, kaleng, dan sebagainya yang tidak bisa hancur itu,” jelas Opan.
Opan berharap, kebijakan plastik berbayar tersebut dapat diterapkan di seluruh kota/kabupaten di Indonesia. Selain sudah menjurus ke arah Undang-Undang Lingkungan Hidup, pemberlakuan kantong plastik berbayar nantinya secara normatif akan mendapatkan perlindungan hukum.