Di Balik Geliat Bisnis Hiburan di Kota Bandung
Oleh: Ridwan Farid
Jurnal Bandung – Suasana sebuah rumah kost di kawasan Cicaheum, Kota Bandung telihat sepi. Tidak terlihat aktivitas berarti di rumah kost berlantai tiga itu.
Hanya terlihat seorang lekaki paruh baya penjaga rumah kost yang tengah menonton televisi di sebuah ruangan di pojok rumah kost itu.
Deretan pintu kamar kost pun terlihat tertutup rapat, tak tampak pula ada sepatu atau sandal di depan pintu yang menandakan ada penghuni di dalam kamar kost.
Hari saat itu menjelang sore. Sesaat kemudian, seorang perempuan muda keluar dari sebuah kamar. Bajunya tipis ketat dan hanya menggunakan celana pendek sebatas paha.
“Halo mas, saya shanty, mas yang tadi sms ya?,” ujar perempuan berambut sebahu dan langsung mengajak masuk ke dalam kamarnya.
Shanty adalah satu dari sekian banyak perempuan muda yang memilih menjadi ‘entrepreneur’ di kota berjuluk Paris van Java ini.
Dia menjual jasa kepada pelanggan yang membutuhkan pijatan untuk memulihkan kondisi badannya. Shanty membuka usaha pijat.
Dia memanfaatkan kamar kostnya yang berukuran 4×3 meter sebagai tempat usahanya. Dengan biaya sewa Rp800 ribu per bulannya, Shanty memaksimalkan fungsi kamar tidurnya untuk mendulang rupiah.
Selama dua tahun berjalan, seluruh kebutuhan Shanty dan sedikit tabungan untuk keluarga di kampung bisa dia penuhi dari penghasilan usaha pijatnya itu.
Dari rupiah demi rupiah yang dihasilkan, bisnis hiburan di Kota Bandung memang menjadi daya tarik tersendiri.
Berbagai tempat hiburan seperti karaoke dan klab malam pun terus bermunculan. Tak terkecuali tempat hiburan yang memanjakan para pelanggannya dengan pijatan lembut therapis.
Di Kota Bandung, tersebar banyak panti pijat mulai panti pijat untuk kalangan menengah ke bawah hingga high class. Berbagai fasilitas dan pelayanan pun ditawarkan pihak pengelola demi mengejar pemasukan dari para pelanggannya.
Namun, berbeda dengan Shanty, perempuan asal Kuningan itu menjalankan bisnis pijatnya seorang diri. Tidak ada manajemen atau papan nama sekalipun yang menandakan usahanya.
Shanty hanya memanfaatkan sebuah iklan baris berisi nomor telepon genggamnya dan sedikit kalimat menggoda di sebuah surat kabar untuk menggaet para pelanggannya.
“Saya sebelumnya memang kerja di tempat pijat di daerah By Pass (Soekarno-Hatta), tapi gak betah. Akhirnya coba-coba sendiri,” aku Shanty.
Meskipun hanya memanfaatkan kamar kostnya, Shanty mengakui, setiap hari, rata-rata dia menerima dua hingga tiga orang pelanggan. Shanty mematok tarif pijat sebesar Rp100.000 per 90 menit.
Pengasilannya akan semakin besar manakala pelanggannya meminta pelayanan tambahan. Namun Shanty enggan bicara banyak soal pelayanan tambahan itu.
“Ya, pokoknya di kamar ini segalanya bisa terjadi asalkan saling mengerti,” ucap Shanty manja diiringi senyum manisnya.
Diakui Shanty, usahanya memang tak berizin. Izin hanya dia peroleh dari bapak kost dengan syarat tidak mengganggu penghuni kost lainnya.
Tanpa mengantongi izin, Shanty pun otomatis tak dikenai pajak seperti yang selama ini diterapkan Pemkot Bandung kepada para pengelola tempat hiburan.
Kota Bandung adalah kota dengan segala pesona. Segala warna warni kehidupannya menjadikan Kota Bandung memiliki daya magnet yang kuat untuk dikunjungi banyak orang, dari segala penjuru. Mereka datang dengan berbagai tujuan mulai study, bekerja, hingga sekedar mencari hiburan.
Pemkot Bandung sendiri mengklasifikasikan kawasan hiburan di Kota Bandung menjadi 15 kategori di antaranya bioskop, diskotek, karaoke, klab malam, panti pijat, kolam renang, dan insidental kesenian (termasuk di dalamnya konser musik).
Sementara, penerimaan pajak dari sektor hiburan di Kota Bandung terbilang cukup besar. Tahun ini, Pemkot Bandung menargetkan penerimaan pajak hiburan sebesar Rp60 miliar dari total target penerimaan pajak daerah sebesar Rp1.613 triliun.
Dikutip dari situs resmi Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung, realisasi penerimaan pajak hiburan hingga 24 Maret 2015 sebesar Rp10.763.864.903 atau baru sekitar 17,94%.