Dewan Sesalkan Derajat Kesehatan Jabar Masih Rendah

Oleh: Bayu Wicaksono

Foto net
Foto net


Jurnal Bandung – Kalangan DPRD Jawa Barat menyayangkan masih rendahnya derajat kesehatan masyarakat Jabar. Anggota Komisi V DPRD Jabar Ikhwan Fauzy mengatakan, berdasarkan data terbaru dari Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik (BPS), derajat kesehatan Jabar berada di peringkat 10 terakhir jika dibandingkan dengan provinsi lainnya.

“Kesehatan Jabar masih level 10 terjelek di nasional,” ungkap Ikhwan kepada Jurnal Bandung di Bandung, Senin (9/3).

Ikhwan menjelaskan, buruknya derajat kesehatan ini disebabkan berbagai hal, salah satunya diukur dari tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan.

Tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan ini salah satunya dikarenakan masih minimnya fasilitas kesehatan di daerah pedalaman. Selama ini, menurutnya, sebaran fasilitas medis belum merata sehingga warga di daerah pedalaman kurang terlayani dengan baik.

Seharusnya, lanjut Ikhwan, pemerintah bersikap tegas dengan memberlakukan kembali undang-undang wajib kerja sarjana. Calon dokter yang akan segera menyelesaikan studinya harus diwajibkan mengabdi di daerah pedesaan.

“Bayi dan ibu melahirkan yang meninggal itu banyaknya di pedalaman. Ini karena sedikit tenaga dan fasilitas medis di pedalaman,” sebutnya.

Selain itu, pertumbuhan penduduk di Jabar yang tidak terkendali menjadi faktor penyebab rendahnya derajat kesehatan di Jabar. Hal ini, kata Ikhwan, tidak disadari betul oleh pemerintah.

Petugas penyuluhan yang berfungsi memberi penjelasan kepada warga tidak berjalan maksimal. Bahkan, ungkap Ikhwan, petugas tersebut kini malah menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di kecamatan.

“Peran itu sudah hilang, padahal mereka ujung tombak dalam pengendalian jumlah penduduk,” ujarnya.

Di samping itu, rendahnya derajat kesehatan juga dikarenakan alokasi 10% APBD untuk kesehatan tidak efektif. Selama ini, tambahnya, alokasi 10% APBD untuk kesehatan tidak sepenuhnya dijalankan pemerintah.

“Pemda jangan pelit terhadap anggaran kesehatan. Itu hak azasi, dijamin UU,” kata Ikhwan.

Sejauh ini, menurut Ikhwan, anggaran 10% untuk kesehatan lebih banyak digunakan untuk kepentingan koordinasi, bukan untuk kepentingan masyarakat secara langsung.

“Alokasinya habis untuk sosialisasi, pengkaderan, pokoknya berputar di birokrasi. Orang sakit tetap sakit,” sesalnya.

Seharusnya, sambung Ikhwan, anggaran untuk kesehatan tersebut digunakan sebaik mungkin untuk kepentingan masyarakat, mulai dari penguatan Posyandu, Puskesmas, hingga peningkatan tenaga kesehatan.

“Harusnya 10% itu benar-benar untuk publik, bukan untuk koordinasi,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan