Dedi Mulyadi Prihatin Banyak Warga di Lumbung Padi Nasional Konsumsi Raskin
Oleh: Bayu Wicaksana

Jurnal Bandung – Tata kelola pertanian di Tanah Air dinilai belum berpihak kepada para petani. Hal ini terlihat dari masih banyaknya warga di daerah lumbung padi yang mengonsumsi beras miskin (raskin), bahkan kesulitan untuk memperoleh makanan pokok tersebut.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Provinsi Jabar Dedi Mulyadi saat pengarahan penyusunan APBD 2017 kepada seluruh kepala daerah dan anggota dewan dari Partai Golkar di kantor DPD Golkar Provinsi Jabar, Kota Bandung, Senin (19/9).
Dedi mengaku prihatin karena masih banyaknya warga Kabupaten Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon yang mengonsumsi raskin. Padahal, kata dia, daerah tersebut merupakan lumbung padi nasional.
“Kebutuhan beras nasional disumbang daerah itu. Kenapa masyarakatnya mengonsumsi beras raskin?” ujar Dedi dengan nada tanya.
Dedi menilai, kebanyakan warga di daerah tersebut berprofesi sebagai petani penggarap, bukan pemilik. Kondisi ini diperburuk oleh pendistribusian beras yang tidak berpihak kepada mereka.
Petani menjual seluruh beras yang dihasilkannya untuk memasok kebutuhan nasional. Seharusnya, kata dia, petani tidak menjual seluruhnya, melainkan menyimpan sebagian untuk cadangan konsumsi mereka.
Tak hanya itu, menurutnya, upah bagi petani penggarap tidak mesti seluruhnya berupa uang.
“Harusnya sebagian dibayar beras. Jadi mereka (petani) tidak kesulitan memperoleh beras,” ujarnya.
Sehingga, kata dia, dengan tata kelola seperti ini, petani yang bisa disebut sebagai produsen beras harus menanggung biaya pengiriman beras yang dikonsumsinya.
“Beras yang mereka hasilkan harus dibeli lagi. Mereka menjual gabah. Setelah jadi beras, dibawa ke Bulog. Dari Bulog, dibawa lagi ke daerah petani untuk dibeli. Yang bikin miris, mereka pun harus menanggung ongkos pengiriman dengan harga jual yang ada,” paparnya.
Oleh karena itu, dia memandang perlu adanya peraturan yang memperbaiki tata kelola tani.
“Harus mulai dibuat peraturan desa yang mengatur tata kelola beras,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, terkait penyusunan APBD, diperlukan data yang akurat untuk menuntaskan kemiskinan. Pasalnya, data yang ada saat ini belum diperbaharui secara aktif. Kondisi tersebut berdampak kepada program yang dijalankan pemerintah.
“Data kita kurang diperbaharui. BPS lima tahun sekali, hasilnya enggak connecting dengan anggaran. Ngomong kemiskinan 2017, tapi data BPS tiga tahun lalu,” tukasnya.