BPLHD Jabar Tuding Perhutani Tidak Serius Kelola Tahura Dago

Oleh: Yuga Khalifatusalam

foto net
foto net

Jurnal Bandung – Maraknya alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU), terutama yang berstatus hutan lindung menjadi lahan perkebunan sayur, menjadi kekhawatiran Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat.

Padahal, lahan yang masuk kawasan hutan lindung tersebut bisa digunakan untuk perluasan Taman Hutan Raya (Tahura) Dago yang menjadi andalan wilayah resapan air (reservoir) di tengah krisis air bersih yang dialami masyarakat Kota Bandung dan sekitarnya.

Kepala BPLHD Jabar Anang Sudarna menegaskan, perluasan Tahura sudah sangat mendesak dilakukan. Pasalnya, kondisi air bersih di Kota Bandung dan sekitarnya kini semakin kritis.

“Kita berpikir bukan hanya hari ini, hari ini saja sulit bagaimana 50 tahun ke depan. Ini tantangan berat, tapi sebetulnya tidak sulit kalau serius,” ujar Anang kepada Jurnal Bandung di Bandung, Jumat (2/10).

Anang mengakui, perluasan Tahura memang bukan pekerjaan mudah. Namun, apapun kendala yang dihadapi di lapangan, perluasan Tahura tetap harus dilakukan. Anang mengungkapkan, selama 5 tahun, pihaknya mampu memperluas Tahura dari semula 526 hektare menjadi 3250 hektare.

“Jadi nambah sekitar 2750 hektare, dari Dago sampai Jatinangor. Notabene itu status hutan lindung, tapi fakta di lapangan jadi kebun sayur. Itu tanggung jawab Perum Perhutani. Apa tidak mampu menangani itu? atau bagaimana? Oleh karena itu, kami mendesak agar Perum Perhutani merealisasikan perluasan Tahura,” tegasnya.

Masalah air bersih, lanjut Anang, jangan dianggap persoalan sepele. Bahkan, persoalan air bersih kini sudah menjadi agenda nasional. Oleh karena itu, penanganan krisis air bersih memerlukan komitmen dan keseriusan dari semua pihak.

“Penyediaan air bersih sangat penting, karena air kebutuhan pokok, tapi faktanya air bersih bermasalah. Dengan terjadinya perubahan iklim terjadi pergeseran cuaca, ditambah lagi kondisi hutan pun rusak, tutupan vegetasi ini memang sudah rusak, kawasan hutan dan non-hutan pun rusak, sehingga fungsi reservoar jadi tidak optimal,” terangnya.

Selain itu, akibat aktivitas manusia, daerah resapan air di Jabar pun kini semakin berkurang. Terlebih, banyak pula daerah resapan air yang kini berubah menjadi permukiman maupun hotel.

“Otomatis, jumlah air meresap ke dalam tanah jadi sedikit. Kalau vegetasi hutan primer bisa 75% bisa meresap ke tanah, sementara sisanya menjadi air permukaan, itu terbuang ke sungai dan saluran air. Tapi di daerah yang terbangun itu sebaliknya, yang 85% menggelontor ke sungai saat hujan dan hanya 15% yang masuk ke permukaan tanah,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan