Antara DVD Bajakan, Risiko, dan Kebutuhan
Oleh: Ridwan Farid
Jurnal Bandung – Bagi warga Kota Bandung dan sekitarnya, Kota Kembang sudah sejak lama dikenal sebagai pusat penjualan VCD/DVD bajakan. Bahkan 2009 silam, tempat ini pun sempat dikenal sebagai pusat penjualan VCD/DVD terbesar di Indonesia.
Harga yang murah dan jaminan kualitas dari para pedagang di Kota Kembang menjadi daya tarik tersendiri bagi pembeli, meskipun si pembeli pun umumnya sadar jika keping VCD/DVD yang dibelinya itu bajakan alias ilegal.
Namun, daya beli masyarakat yang rendah, terlebih saat ini, membuat mereka tak punya pilihan lain. Bandingkan saja, untuk membeli satu keping VCD/DVD original, pembeli harus mengeluarkan kocek puluhan kali lipat ketimbang membeli satu keping VCD/DVD di Kota Kembang yang dibanderol hanya Rp5.000 per keping.
Di sisi lain, produksi VCD/DVD bajakan pun seolah tak bisa dihentikan, meskipun berbagai upaya untuk mencegah peredaran VCD/DVD bajakan sudah sering dilakukan aparat berwenang, termasuk di Kota Kembang yang lokasinya terletak di Jalan Dalem Kaum, Kota Bandung ini.
Berdasarkan pengakuan salah seorang penjual VCD/DVD bajakan di Kota Kembang, para penjual juga sebenarnya sadar jika yang dijualnya itu barang ilegal dan usahanya penuh risiko. Namun, kebutuhan hidup yang mendesak ditambah tidak adanya lapangan pekerjaan lain membuat mereka memilih berjualan VCD/DVD bajakan.
“Apalagi, untungannya juga lumayan,” ucap si penjual yang mewanti-wanti agar Jurnal Bandung tidak menyebutkan namanya, Jumat (20/3).
Bahkan, saat berbincang lebih dalam, terungkap jika omset penjualan VCD/DVD bajakan di Kota Kembang cukup fantastis dimana setiap penjual bisa meraih omset hingga Rp2-3 juta per harinya. Di Kota Kembang sendiri kini terdapat lebih dari 20 toko yang menjual ribuan keping VCD/DVD setiap harinya.
“Memang besar karena kami tidak hanya jual eceran, pembeli dari luar kota kan banyak juga yang beli partai besar bang,” jelasnya.
Keuntungan besar itu ternyata sebanding dengan risiko yang harus ditanggung para penjual. Bukan hanya razia yang mengharuskan mereka tutup lapak sementara, penjual VCD/DVD di Kota Kembang pun dibebani harga sewa toko yang cukup mahal, belasan hingga puluhan juta rupiah harus dikeluarkan setiap bulannya.
“Kami juga keluarkan uang koordinasi bang, setiap pedagang harus bayar itu,” ungkapnya seraya enggan menjelaskan lebih jauh terkait uang koordinasi yang dia sebutkan, termasuk nilai nominalnya.
Menurutnya, para penjual VCD/DVD di Kota Kembang bisa langgeng berjualan hingga kini karena adanya uang koordinasi tersebut. Jika ada informasi akan digelar razia, informasi tersebut pasti sampai ke seluruh pedagang.
“Takut, ya memang takut. Tapi kalau seperti itu, kita tutup semua. Ya, memang kaya kucing-kucingan lah kami,” imbuhnya.
Seorang pembeli, Lia Nurhayati mengaku sering membeli keping DVD di Kota Kembang, terutama DVD film anak-anak untuk buah hatinya. Lia pun mengakui harga DVD di Kota Kembang memang sangat terjangkau.
“Bawa Rp20 ribu, kita bisa bawa pulang empat (keping). Saya tahu ini bajakan dan salah, tapi gimana lagi. Saya gak sanggup beli yang ori (original),” ungkap warga Jalan Inhoftank, Kota Bandung ini.
Apapun alasannya, memproduksi, menjual, dan membeli VCD/DVD bajakan ataupun produk lain yang sifatnya bajakan memang tidak dapat dibenarkan. Namun, sulit kiranya mencari siapa yang salah jika fenomena yang terjadi seperti di Kota Kembang dikaitkan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat saat ini.
Di satu sisi penuh risiko, namun di sisi masyarakat pun membutuhkannya, setidaknya untuk saat ini hingga mereka hidup lebih sejahtera dan mampu membeli VCD ataupun DVD original. Kalau begini, kira-kira siapa yang patut disalahkan?